Bersabar Berjanji dengan Allah – Al Ahzab : 23-24

Imam Ahmad télah meriwayatkan dengan sanadnya dari Thabit katanya: Ayah saudaraku Anas ibn an-Nadhr r.a. sangat sedih karena tidak dapat ikut bersama Rasulullah SAW di dalam Peperangan Badar. Dia berkata “Aku tidak ikut berjuang di dalam peperangan pertama yang diceburi Rasululah SAW Sesungguhnya jika Allah memberi kesempatan kepadaku berjuang dalam peperangan selepas ini, niscaya Allah dapat melihat bagaimana aku berjuang.” Ujar Thabit: Dia bimbang mengeluarkan perkataan yang lain. Kemudian dia turut berjuang bersama-sama Rasulullah SAW di dalam Peperangan Uhud. Di sana dia bertemu dengan Saad ibn Mu’az ra, lalu dia berkata kepadanya, “Aku mencium bau Syurga di Bukit Uhud” Kata Thabit: Lalu dia bertempur hingga gugur syahid. Di badannya terdapat lebih lapan puluh luka-luka ditetak, ditikam dan dipanah. Kata saudara perempuannya iaitu ibu saudaraku ar-Rubaiyi binti an-Nadhr:

“Aku dapat mengenal mayat saudaraku itu dan jari-jarinya” ujar Thabit : lalu turunlah ayat ini :

“Di antara orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang benar benar menunaikan apa yang telah mereka janjikannya kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur syahid dan di antara rnereka pula ada yang menunggu (mati syahid). Dan mereka tidak mengubahkan janji mereka sedikit pun.” (Al Ahzab : 23)

(Hadith ini diriwayatkan oleh Muslim, at-Tirmizi dan an-Nasai dari hadith Sulaiman ibn al-Mughirah).

Mereka ini contoh golongan yang bertentangan dengan golongan yang keji yang berjanji dengan Allah bahawa mereka tidak akan mundur dan lari dari perjuangan kemudian mereka tidak menepati janji itu. Sedangkan dahulunya mereka telah berjanji dengan Allah yaitu mereka tidak akan berpaling undur dan janji Allah tetap akan ada. [1]

Gambaran gemilang bagi contoh golongan Mukmin ini adalah untuk menyempurnakan gambaran iman berbanding dengan gambaran nifaq (kemunafikan) seorang muslim. Keimanan yang lernah dan kemungkaran janji dari golongan itu merupakan perbandinganyang ditunjukkan dengan sempurna dalam rangka tarbiyah melalui peristiwa dari al-Qur’an.

Para Sahabat di masa Rasulullah SAW telah terbiasa dengan perjanjian perjanjian pribadi mereka dengan Allah. Keteguhan hati dan keyakinan mereka senantiasa dikuatkan dengan adanya pertalian janji tersebut. Mereka berjanji untuk mendapatkan perniagaan yang jauh lebih indah dibandingkan dengan perniagaan apapun yang ada di dunia ini. Mereka tidak ingin begitu saja melepasakan cita cita merekadalam mendapatkan kesyahidan, hanya karena lemahnya hati yang tidak terikat pada suatu kepastian.

Dan ketika cita-cita itu belum terwujud, maka mereka menunggu dengan harap harap cemas. Harapan akan dipertemukan dengan wanginya bau syurga dalam kesyahidan mereka dan kecemasan akan keikhlasan mereka dalam menghibahkan jiwa raga di jalan Allah. Maka ketika ketika timbul niat selain dari pada Allah, mereka akan bersujud dan memperbaharui niat mereka agar ketika tiba waktunya nanti, mereka benar benar mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Allah.

Gambaran itu disempurnakan pula dengan menerangkan hikmah ujian dan ketetapan akibat dari janji yang mereka tepati, atau justru kemungkaran janji mereka sendiri. Maka mereka menyerahkan hal ini semuanya kepada iradat (kehendak) Allah:

“Agar Allah memberi balasan kepada orang-orang yang benar karena janji mereka dan menyeksakan orang-orang Munafiqin jika dikehendaki-Nya atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih.” ( Al Ahzab :24)

Hikmah atas janji ini demikian dibuat di tengah-tengah peristiwa dan tujuan untuk memulangkan segala urusan kepada Allah dan untuk menjelaskan hikmat peristiwa itu, karena tiada peristiwa yang sia-sia dan tiada pula yang berlaku secara kebetulan saja. Peristiwa- peristiwa itu berlaku menurut takdir yang telah ditentukan Allah dan berakhir dengan kesudahan yang dikehendaki Allah pula, dimana rahmat Allah terhadap hamba hamba-Nya dapat dilihat dengan jelas. Dan juga karena rahmat dan ampunan dari Allah selamanya lebih dekat dan lebih besar dibanding murkaNya.

Maka wahai para rijalul da’wa cukupkanlah kalian menjadi seorang Islam saja ketika kalian telah mengangkat perjanjian dengan Allah dam yang berarti kalian telah mengikat tali dengan Allah. Maka janji itulah akan membawa bukti bahwa telunjuk kalian bersyahadat. Karena kalian para ulama, da’i, penyeru islam yang mempersembahkan nyawanya di jalan Allah, atas dasar ikhlas kepada Nya, senantiasa ditempatkan Allah sangat tinggi dan mulia.

Akan tiba saatnya dimana dakwah ini ditumpangi oleh rijal rijal yang kehilangan orientasi, kehilangan niat ikhlas, bahkan menjadi aib dan duri dalam dakwah. Maka ikhwah marilah saling mengingatkan dan mengikat perjanjian kita dengan Allah. Mari kita ikatkan kuat kuat pertalian hati kita, supaya hati kita ini menjadi hati hati yang tertunduk lemah atas sang pencipta. Tidak ada ego dan kesombongan yang memecah keikhlasan menjadi seorang hamba Allah.

Kita perkuat bekal perjalanan atas perjanjian kita dengan Allah. Yaitu dengan sabar. Karena beban perjanjian ini akan dituntut dengan konsistensi kita berjuang di jalan dakwah. Ditengah kecenderungan dan keinginan, beratnya beban yang dituntut oleh pelaksana dakwah. Dan Sabar mesti ada dalam semua ini. Sabar dalam melaksanakan ketaatan, dalam menahan diri dari maksiat, dalam memerangi orang orang yang menentang Allah, dalam menghadapi muslihat dengan berbagai ragam coraknya, dalam menanti datangnya lama pertolongan, dalam menanti lamanya keletihan, dalam mengenyahkan kebatilan, di mana sedikit penolong, dalam panjangnya jalan berduri dalam menghadapi bengkoknya jiwa, kesesatan hati, kepayahan penenang dan robeknya kehormatan.[2]

Wallohu a’lam bi showwab..

[1] Sayyid Quthb, Fi Zilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press,2000), hal 107-109

[2] Sayyid Quthb, Fikih Pergerakan, (Yogyakarta: USWAH,2007), hal 284